//
IMPLEMENTASI HAK INTERPELASI DEWAN PERWAKILAN RAKYAT ACEH TERHADAP PERATURAN GUBERNUR NOMOR 5 TAHUN 2018 TENTANG PELAKSANAAN HUKUM ACARA JINAYAH |
|
BACA FULL TEXT ABSTRAK Permintaan Versi cetak |
|
Pengarang | M. FAZA ADHYAKSA - Personal Name |
---|---|
Abstrak/Catatan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 106 ayat 2 menjelaskan Hak Interpelasi adalah hak Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi untuk meminta keterangan kepada gubernur mengenai kebijakan pemerintah daerah provinsi yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Hak interpelasi pernah digunakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh Periode 2014-2019 terkait dengan beberapa kebijakan dan aturan baru yang dikeluarkan oleh gubernur Aceh. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan hak interpelasi yang dilakukan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) periode 2014-2019 dan langkah apa yang digunakan terhadap penerbitan Peraturan Gubernur Aceh Nomor 5 tahun 2018 tentang pelaksanaan hukum acara jinayat. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis empiris, penelitian yuridis yaitu dimana hukum dilihat sebagai norma (das sollen) yang menggunakan bahan-bahan hukum atau aturan-aturan hukum yang tertulis maupun tidak tertulis. Sedangkan penelitian hukum empiris melihat hukum berdasarkan kenyataan yang ada di lapangan sebagai perilaku nyata (das sein) sebagai gejala sosial yang terjadi di masyarakat. Berdasarkan hasil penelitian, DPRA menggunakan hak interpelasi terkait penerbitan Pergub terhadap gubernur Aceh, urgenitasnya adalah didalam Pergub Nomor 5 Tahun 2018, pasal 30 mengatur hukuman cambuk dilakukan di tempat tertutup (rutan/lapas), hal ini bertentangan dengan penjelasan Qanun Nomor 7 Tahun 2013, pasal 262 dimana hukuman cambuk dilakukan ditempat terbuka dan dapat dilihat oleh orang yang hadir. Gubernur memberikan penjelasan penerbitan Pergub tersebut hanya sebagai peraturan pelaksana Qanun saja. Secara hierarki, kedudukan Perda Provinsi (Qanun) lebih tinggi dari Pergub, apabila Pergub bertentangan dengan Qanun maka Pergub tersebut batal demi hukum. DPRA juga mengajukan gugatan ke Mahkamah Agung. Dalam putusannya, MA menolak permohonan gugatan atau uji materi yang diajukan DPRA, karena menurut MA jika terdapat penyimpangan dalam pelaksanaan Qanun Aceh, maka DPRA dapat menggunakan Hak Interpelasi sesuai dengan mekanisme pengawasan yang diatur dalam UUPA. Disarankan agar DPRA kedepannya untuk lebih memperhatikan kembali penggunaan dari Hak Interpelasi sebelum mengajukan usulan. Kemudian, kepada pemerintah Aceh untuk lebih berhati-hati dan memperhatikan lagi redaksi dari Pergub yang dikeluarkan, agar tidak bertentangan dengan Qanun. | |
Tempat Terbit | |
Literature Searching Service | Hard copy atau foto copy dapat diberikan dengan syarat ketentuan berlaku, jika berminat, silahkan isi formulir online (Chat Service LSS) |
Share Social Media | |
Tulisan yang Relevan KEWENANGAN PEMANGGILAN PAKSA ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM PASAL 73 UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2018 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (Suriadi, 2018) |
|
Kembali ke sebelumnya |