//

KEPASTIAN HUKUM PERUNDANG-UNDANGAN YANG MELARANG KETERLIBATAN MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK SETELAH PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 51/PUU-XIV/2016

BACA FULL TEXT ABSTRAK Permintaan Versi cetak
Pengarang MUKHLIS - Personal Name

Abstrak/Catatan

ABSTRAK Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51/Puu-Xiv/2016 tentang pencabutan Pasal 67 ayat (2) huruf g pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 menyangkut pembatasan hak mantan narapidana untuk mencalonkan diri dalam pemilihan kepala daerah. Kemudian muncul undang-undang baru yang memuat pembatasan hak mantan narapidana yaitu Pasal 169 Huruf p, Pasal 182 Huruf g, Pasal 240 ayat (1) Huruf g Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Sehingga menarik untuk dikembangkan lebih lanjut menyangkut kepastian hukum terhadap pasal-pasal yang memuat pembatasan hak mantan narapidana tersebut dengan cara mengkaji putusan Mahkamah Konstitusi merupakan perintah atau larangan yang setingkat keberadaannya dengan perundang-undangan atau tidak dan menganalisis kekuatan putusan Mahkamah Konstistusi mempengaruhi perundang-undangan lain secara keseluruhan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji dan menganalis putusan Mahkamah Konstitusi merupakan perintah atau larangan yang setingkat keberadaannya dengan perundang-undangan atau tidak dan menganalisis kekuatan putusan Mahkamah Konstistusi mempengaruhi perundang-undangan lain secara keseluruhan serta perwujudan harmonisasi dan kepastian hukum antara sesama undang-undang juga putusan Mahkamah Konstitusi. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum yuridis normatif. Penelitian yang mencakup asas-asas hukum, sistematika hukum, sejarah hukum dan taraf sinkronisasi hukum. Sumber data yang digunakan adalah data skunder yang berupa bahan hukum primer, bahan hukum skunder dan bahan hukum tersier. Data yang diperoleh baik dari bahan hukum primer, skunder, tersier, serta informasi dari para ahli akan dianalisis dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi merupakan aturan yang memiliki derajat setingkat dengan perundang-undangan untuk dilaksanakan. Karena antara keduanya bisa saling mencabut keberlakuannya. Namun dari kepastian hukum putusan Mahkamah Konstitusi lebih tinggi daripada undang-undang, karena sifat putusan Mahkamah Konstitusibersifat final dan mengikat terhadap putusan Mahkamah Konstitusi berikutnya. Dikaitkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi nomor 51/Puu-Xiv/2016 dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilihan umum jelas bahwa putusan Mahkamah Konstitusi tersebut tidak diindahkan dalam pembentukan perundang-undangan. Meskipun putusan MK tersebut bersifat khusus, namun bentuk putusannya akan selalu diikuti oleh hakim konstitusi berikutnya. Sehingga memungkinkan pembatasan mantan narapidana yang tercantum pada Undang-Undang nomor 7 tahun 2017 tidak memilki kekuatan hukum dan kepastian hukum. Sifat final dan mengikat yang berada pada putusan Mahkamah Konstitusi sudah sangat jelas bahwa putusan Mahkamah Konstitusi sangat bisa mempengaruhi semua undang-undang. Terutama undang-undang yang mengatur prihal yang sama dengan kasus yang sudah memilki putusan Mahkamah Konstitusi. Hakim Mahkamah Konstitusi hanya mengikuti putusan Mahkmah Konstitusi sebelumnya. Sehingga undang-undang yang memuat prihal yang sama dipastikan tidak memiliki kepastian hukum. Sehingga dengan dasar ini dapat dimengerti bahwa setiap perundang-undangan yang memuat pelarangan mantan narapidana untuk menjadi pejabat publik tentu harus direvisi. Disarankan adanya suatu aturan hukum yang mempertegas teknis implementasi putusan Mahkamah Konstitusi dalam pembentukan perundang-undangan. Tersedianya suatu wadah pengujian kembali terhadap putusan Mahkamah Konstitusi. Sehingga setiap putusan yang dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat dapat diajukan peninjauan kembali. Misalkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51/Puu-Xiv/2016 yang penulis anggap tidak sessuai lagi dengan kondisi perkembangan pemerintahan Indonesia dalam upaya menciptakan pemerintahan yang bersih dan baik. Hal ini tentu terlebih dahulu dengan cara membatasi pemerintahan dari orang-orang yang pernah bermasalah dengan hukum.

Tempat Terbit
Literature Searching Service

Hard copy atau foto copy dapat diberikan dengan syarat ketentuan berlaku, jika berminat, silahkan isi formulir online (Chat Service LSS)

Share Social Media

Tulisan yang Relevan

KEWENANGAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA DALAM MELAKUKAN UJI MATERI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG MEMUAT PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA (SUHARDIN, 2019)

KEKUATAN HUKUM SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI (RIDHA SYAHFUTRA, 2016)

STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 107PK/PDT/2001 TENTANG PEMBERIAN NAFKAH KEPADA MANTAN ISTRI PASCA PERCERAIAN (SEPTIAMAULI JODA, 2016)

SINKRONISASI SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 7/2014 DALAM KAITANNYA DENGAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 34/PUU-XI/2013 (Riki Yuniagara, 2017)

STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 85/PUU-XI/2013 TENTANG PEMBATALAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR (RIZKI RYAN OCTA, 2016)

  Kembali ke sebelumnya

Pencarian

Advance



Jenis Akses


Tahun Terbit

   

Program Studi

   

© UPT. Perpustakaan Universitas Syiah Kuala 2015     |     Privacy Policy