PENYELESAIAN SENGKETA HAK MILIK ATAS TANAH DAN HARTA BERSAMA (SEUHAREUKAT) MELALUI PERADILAN ADAT DI KABUPATEN ACEH BESAR Dahlia Farida* A. Hamid Sarong** Darmawan ABSTRAK *** 1 3 2 Berdasarkan Pasal 98 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Aceh diberikan kewenangan untuk menyelesaikan masalah sosial kemasyarakatan secara adat dan ditempuh melalui Lembaga Adat. Pasal 13 ayat (1) Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat mengatur jenis sengketa/perselisihan adat antara lain perselisihan tentang hak milik dan harta bersama (seuhareukat). Namun kenyataannya di Kabupaten Aceh Besar keputusan peradilan adat tidak menyelesaikan sengketa secara final, dan putusannya tidak mengikat para pihak sehingga perkaranya diajukan kembali melalui peradilan umum dan peradilan lainnya. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan dan menganalisis proses penyelesaian sengketa hak milik atas tanah dan harta bersama (seuhareukat) melalui peradilan adat di Kabupaten Aceh Besar, pelaksanaan putusan peradilan adat dalam menyelesaikan sengketa hak milik dan harta bersama (seuhareukat) di Kabupaten Aceh Besar, dan penerimaan para pihak terhadap putusan peradilan adat dalam menyelesaikan sengketa hak milik dan harta bersama (seuhareukat) di Kabupaten Aceh Besar. Penelitian ini merupakan penelitian hukum dengan jenis yuridis empiris atau sosiologi hukum. Instrumen pengumpulan data dilakukan melalui penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan untuk memperoleh data sekunder dan data primer. Data diolah dengan tahapan memberikan kode pada data (coding), pemeriksaan data (editing), dan menggambarkan jawaban (tabulasi), selanjutnya dianalisis melalui pendekatan kualitatif dan bersifat deskriptif analitis. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa proses penyelesaian sengketa hak milik dan harta bersama (seuhareukat) melalui peradilan adat di Kabupaten Aceh Besar pada umumnya belum mengacu pada pedoman penyelenggaraan dan penyelesaian perselisihan/sengketa adat yang dibuat oleh MAA, proses peradilan tidak terdokumentasi dengan baik sehingga dapat dengan mudah diajukan kembali ke peradilan peradilan umum dan peradilan lainnya oleh salah satu pihak. Pelaksanaan putusan peradilan adat dalam * Mahasiswa ** Ketua Komisi Pembimbing *** Anggota Komisi Pembimbing penyelesaian sengketa hak milik atas tanah dan harta bersama (seuhareukat) di Kabupaten Aceh Besar sangat tergantung kepada itikad baik para pihak, apabila pihak beritikad baik akan melaksanakan dengan segera (serta-merta) sesuai keputusan yang dicapai, dan sebaliknya akan enggan atau dapat dibatalkan oleh salah satu pihak karena putusan tidak memiliki upaya paksa dan hakim formal tidak dapat menolak perkara yang telah diselesaikan melalui peradilan adat. Penerimaan para pihak terhadap putusan peradilan adat dalam penyelesaian sengketa hak milik atas tanah dan harta bersama (seuhareukat) di Kabupaten Aceh Besar pada umumnya belum bersifat mutlak dan mengikat untuk dilaksanakan oleh para pihak karena ada pihak yang tidak puas dengan putusan yang telah dihasilkannya dan mengajukan kembali ke peradilan formal. Disarankan kepada Majelis Adat Aceh (MAA) Kabupaten Aceh Besar agar bersinergi dengan Pemerintah Kabupaten Aceh Besar, dan Kepolisian Resort Aceh Besar, untuk bersama-sama memberikan bimbingan teknis secara berkala kepada perangkat adat Gampong dan Mukim, sehingga mampu secara maksimal dan berkualitas dalam menyelesaikan sengketa hak milik atas tanah dan harta bersama (seuhareukat) yang timbul dalam masyarakat. Kepada Legislatif agar membuat aturan yang memuat mekanisme pengawasan dan sanksi bagi para pihak yang mengabaikan atau lalai melaksanakan putusan sehingga menjamin putusan peradilan adat bersifat final dan mengikat serta tidak diajukan lagi ke peradilan formal lainnya. Kepada para pihak hendaknya mentaati dan melaksanakan putusan peradilan adat dengan sukarela dan beritikad baik dan menjadikan peradilan adat sebagai alternatif penyelesaian sengketa yang bermartabat (cepat, adil, dan netral) untuk melindungi segala kepentingan masyarakat. Kata Kunci: Penyelesaian sengketa, Hak milik atas tanah dan harta bersama (seuhareukat), Peradilan Adat. THE RESOLUTION OF LAND RIGHTS AND JOINT PROPERTY (SEUHAREUKAT) DISPUTES THROUGH CUSTOMARY COURTS IN ACEH BESAR REGENCY Dahlia Farida* A. Hamid Sarong** Darmawan*** 4 5 ABSTRACT Based on Article 98 paragraph (2) of Law Number 11 of 2006 concerning the Government of Aceh, Aceh is given the authority to settle social problems through the customary court in customary institutions. Article 13 paragraph (1) of Aceh Qanun Number 9 of 2008 concerning the development of customary life and customs has governed several types of customary disputes, including disputes over land rights and joint property (seuhareukat). However, in reality, in Aceh Besar Regency, the customary court decision did not resolve the dispute completely, and the decision is not binding on the parties so that the case could be re-submitted to general and other courts. This study aims to explain and analyze the process of resolving land rights and joint property (seuhareukat) disputes through customary courts in Aceh Besar Regency, the implementation of customary court decisions in resolving disputes over land rights and joint property (seuhareukat) in Aceh Besar Regency, and the acceptance of the parties to customary court decisions in the resolution of disputes over land rights and joint property (seuhareukat) in Aceh Besar Regency. This research is socio-legal research that used an empirical juridical approach. The instruments of this research were library research and field research that were used to obtain secondary and primary data. The data were processed through several stages, that is data coding, data examination (editing), and data description (tabulation). Then, the data were analyzed using a qualitative approach and descriptive analytics method. Based on the results of the study, it was found that the process of resolving disputes over land rights and joint property (seuhareukat) through customary court in Aceh Besar Regency generally did not refer to the guidelines for the settlement of existing customary disputes made by Aceh Customary Council (MAA) and was not well documented. These issues made the case easily be resubmitted to general courts or other types of courts by one of the parties. The implementation of customary court decisions in the resolution of disputes over land rights and joint property (seuhareukat) in Aceh Besar Regency was very dependent on the good faith of the parties. If the parties have a good faith, they will follow the results of decisions that have been reached immediately. Without good faith, the parties might be reluctant to follow the decision, or one party might cancel the decision because the court has no coercive efforts, and the *Student **Head of the Supervising Commission ***Member of the Supervising Commission formal judge cannot refuse a case that has been settled through a customary court. The acceptance of the parties to the customary court's decision in settling disputes over land rights and joint property (seuhareukat) in Aceh Besar Regency was generally not absolute, and the decision was not binding to be carried out by the parties because there were parties who were dissatisfied with the decision that had been generated and resubmitted the case to a formal court. It is recommended that the Aceh Customary Council (MAA) of Aceh Besar Regency synergize with the Aceh Besar Regency Government, and the Aceh Besar Police Precinct, to jointly provide periodic technical guidance to the Gampong and Mukim customary apparatus so that they can maximally and with quality resolve disputes over land rights and joint property (seuhareukat) that arise in the community. To the legislatures, it is suggested to create a regulation that contains the mechanism of supervision and sanctions for parties who ignore the implementation of the customary court’s decision to ensure that the decision is final and binding and cannot be resubmitted to other formal courts. The parties should obey and implement the customary court's decision voluntarily and in good faith and make the customary court as an alternative in settling disputes with dignity (fast, fair, and neutral) to protect all the interests of the community. Keywords: Dispute resolution, Land rights and Joint property (seuhareukat), Customary Court