//
PENGEMBALIAN KERUGIAN NEGARA DALAM KASUSRNTINDAK PIDANA KORUPSI |
|
BACA FULL TEXT ABSTRAK Permintaan Versi cetak |
|
Pengarang | Muliani - Personal Name |
---|---|
Subject | CORRUPTION IN GOVERNMENT - LAW |
Bahasa | Indonesia |
Fakultas | Fakultas Hukum |
Tahun Terbit | 2014 |
Abstrak/Catatan ABSTRAK MULIANI PENGEMBALIAN KERUGIAN NEGARA DALAM KASUS 2014 TINDAK PIDANA KORUPSI Fakultas Hukum Unsyiah Syiah Kuala (iv, 64) pp, bibl. (RIZANIZARLI, S.H.,M.H) Kerugian negara yang ditimbulkan tindak pidana korupsi harus dikembalikan. Dalam upaya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi, Indonesia tidak hanya menggunakan instrumen nasional seperti pada Pasal 38 ayat (5) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,, yaitu dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat bukti yang cukup kuat bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana korupsi, maka hakim atas tuntutan penuntut umum menetapkan perampasan barang-barang yang telah disita, selanjutnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, tetapi juga menggunakan instrumen- instrumen internasional seperti United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 yang diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006. Namun, hal ini belum terlaksana dengan maksimal. Penulisan skripsi ini bertujuan untuk menjelaskan pelaksanaan proses pengembaliana aset hasil tindak pidana korupsi dan hal-hal yang harus disiapkan oleh pemerintah dan aparat penegak hukum agar pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi dapat berjalan dengan baik. Untuk memperoleh data, dalam penulisan ini dilakukan penelitian kepustakaan dengan cara memperlajari undang-undang, buku-buku, makalah, dan literatur-literatur yang ada kaitannya dengan judul tulisan ini. Dari hasil penelitian diketahui bahwa proses pelaksanaan pengembalian hasil tindak pidana korupsi diawali dengan pelacakan aset baik yang ada di dalam negeri maupun luar negeri. Kemudian tahap pembekuan aset yang dilakukan agar aset tidak berpindah untuk kemudian dilaksanannya tahap perampasan aset. Dalam tahap yang ketiga yaitu penyitaan aset yang merupakan kelanjutan dari tahap pembekuan dan perampasan aset sebelum dilakukan penyitaan untuk selanjutnya dapat dilakukan penyerahan aset dari negara penerima kepada negara korban. Perintah penyitaan ini dikeluarkan oleh pengadilan atau badan yang berwenang dari negara penerima setelah ada putusan pengadilan yang menjatuhkan pidana pada pelaku tindak pidana. Agar pengembalian aset ini dapat berjalan dengan baik maka Indonesia harus segera mengesahkan RUU Perampasan Aset, penggunaan upaya pengembalian aset secara NCB sebagai alternatif, menggunakan lembaga kepailitan sebagai alternative pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi, dan pengefektifan RUPBASAN sebagai badan pengembalian aset. Selain itu dalam pengembalian aset hendaknya melibatkan firma-firma hukum (Law Firm) dan lembaga-lembaga keuangan yang ahli di bidang akutansi. Indonesia harus meningkatkan political will dengan meningkatkan hubungan baik dengan negara lain khususnya negara yang sering menjadi tujuan pelarian aset hasil tindak pidana korupsi. | |
Tempat Terbit | Banda Aceh |
Literature Searching Service | Hard copy atau foto copy dapat diberikan dengan syarat ketentuan berlaku, jika berminat, silahkan isi formulir online (Chat Service LSS) |
Share Social Media | |
Tulisan yang Relevan PENOLAKAN TUNTUTAN PEMBAYARAN UANG PENGGANTI OLEH HAKIM TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI (SUATU PENELITIAN DI PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI BANDA ACEH) (DIANDRA AYASHA SOESM, 2017) |
|
Kembali ke sebelumnya |