PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI PERADILAN ADAT GAYO DI LUAR KETETAPAN PASAL 13 QANUN ACEH NOMOR 9 TAHUN 2008 TENTANG PEMBINAAN KEHIDUPAN ADAT DAN ADAT ISTIADAT (Suatu Penelitian di Kabupaten Aceh Tengah) Rahmina Darmawan Teuku Muttaqin Mansur ABSTRAK Berdasarkan Qanun No 9 Tahun 2008 Pasal 13 kewenangan peradilan adat dalam menyelesaikan sengketa terhadap 18 kasus, namun dalam kenyataanya peradilan adat tidak hanya menyelesaikan 18 kasus tersebut, tetapi juga menyelesaikan sengketa diluar ketetapan Qanun Aceh No 9 Tahun 2008. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana bentuk, mekanisme, pelaksanaan putusan peradilan adat Gayo dan bagaimana kekuatan hukum putusan Peradilan Adat terhadap sengketa yang ditetapkan di luar Qanun Aceh No 9 Tahun 2008. Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan bentuk dan mekanisme alternatif penyelesaian sengketa melalui peradilan adat Gayo, pelaksanaan keputusan Peradilan Adat bagi masyarakat Gayo dan menjelaskan kekuatan hukum putusan Peradilan Adat terhadap sengketa yang ditetapkan di luar Qanun No 9 Tahun 2008. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian yuridis empiris dengan menggunakan pendekatan sosiologi hukum. Sumber data terdiri dari data skunder dari kepustakaan dan data primer yang diambil di lapangan. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam dengan responden dan informan. Lokasi penelitian di Kecamatan Lut Tawar dan Kecamatan Bintang Kabupaten Aceh Tengah. Semua data yang dikumpulkan dianalisis menggunakan teori sosiological jurisprundence, teori kemanfaatan dan teori kewenangan. Hasil penelitian ini menunjukan ada beberapa bentuk penyelesaian sengketa, yaitu: Sengketa Satu Kampung, mekanisme penyelesaian sengketa peradilan adat Gayo yaitu: adanya laporan (dari korban atau masyarakat), laporan yang disampaikan kepada kepala dusun, jika sengketanya ringan cukup diselesaikan oleh kepala dusun, kepala dusun melapor kepada Reje atau anggota Sarak Opat, jika sengketa masuk dalam kategori sengketa berat, Reje mengirim Telangke (mediator) kepada para pihak yang bersengketa, musyawarah, pembacaan hasil putusan musyawarah dan melaksanakan eksekusi. Sengketa melibatkan antar kampung, antar Kecamatan, antar Kabupaten, mekanisme penyelesaiannya yaitu: Adanya laporan dari masyarakat yang disampaiakan kepada kepala dusun atau langsung kepada Sarak Opat, Sarak Opat kemudian menkonfirmasi kepada Sarak Opat kampung yang lainnya, kampung yang ada kaitannya dengan para pelaku, melakukan Musyawarah, pembacaan putusan hasil musyawarah dan eksekusi. Pelaksanaan putusan peradilan adat di masyarakat Gayo yaitu: Menerima putusan dan melaksanakan, menerima putusan dan tidak melaksanakan. Kewenangan peradilan adat dalam menangani sengketa hanya terbatas pada 18 kasus yang ditetapkan dalam Qanun No. 9 Tahun 2008. Namun bukan berarti kasus yang lainnya tidak dapat diselesaikan, sengketa yang lain masih dapat diselesaikan terutama sekali yang berkaitan dengan pelanggaran adat istiadat. Pasal 13 Qanun No 9 Tahun 2008 poin ke 18 berbunyi “ perselisihan-perselisihan lain yang melanggar adat dan istiadat”. Poin terakhir ini memberikan banyak peluang kepada lembaga adat untuk menyelesaikan sengketa di luar ketentuan Qanun No. 9 Tahun 2008 yang intinya sengketa tersebut dianggap melanggar adat dan istiadat kampung tersebut, sehingga putusan peradillan adat di luar ketentuan Qanun No. 9 Tahun 2008 tetap memiliki kekuatan tetap. Disarankan agar pemerintahan tidak memberikan batasan kewenangan peradilan adat, karena jika dibatasi hal ini akan membuat hukum adat terlihat kaku dan juga hukum adat jangan di buat aturan begitu detail, jika hukum adat dibuat secara detail maka akan membuat hukum adat terlihat kaku, karena pada dasarnya hukum adat bersifat elastis. Hukum adat berkembang sesuai dengan pola kehidupan masyarakat, sehingga aturan mengenai hukum adat cukup dibuat sebatas mengakui keberadaan hukum adat, hal ini sangat dipentingkan bagi hukum adat supaya putusan hukum adat memiliki kekuatan hukum tetap. Disarankan kepada lembaga Sarak Opat dan Majlis Adat Gayo supaya hukum adat Gayo lebih dikembangkan lagi dalam arti bukan dibuat dalam bentuk formal, melainkan pengembangannya dalam bidang pemahaman masyarakat. Penerimaan hukum adat akan lebih mudah lagi diterima masyarakat apabila hukum itu dipahami oleh setiap kalangan masyarakat. Karena konsep hukum adat hanya dipahami oleh tokoh adat yang sudah tua, sehingga masyarakat banyak tidak memahami hukum adat, hal ini dapat menyebabkan hukum adat secara berlahan akan hilang. Disarankan kepada seluruh masyarakat Gayo dan Generasi muda Gayo harus memberikan perhatian yang besar terhadap hukum adat, karena nilai-nilai hukum adat sekarang sudah mulai memudar, karena kurang perhatian dari masyarakat. Hal ini akan menyebabkan nilai hukum adat akan memudar. Kata Kunci: Alternatif Penyelesaian Sengketa, Peradilan Adat Gayo. DISPUTE RESOLUTION THROUGH GAYO’S CUSTOMARY COURT OUTSIDE THE STATUTE IN ARTICLE 13 OF QANUN ACEH NO 9 OF 2008 ABOUT THE DEVELOPMENT OF CUSTOMARY LIFE AND THE CUSTOM (A Study Case In Aceh Tengah Regency) Rahmina Darmawan Teuku Muttaqin Mansur ABSTRACT According to the Qanun No 9 of 2008 Act 13, the authority of customary justice system is to resolve a dispute of 18 cases, yet in the reality the customary justice is not only solved these 18 cases but also solve other disputes outside the statue of the Qanun No 9 of 2008. The formulation of the problem in this particular study is about the form, mechanism, and implementation of Gayo’s customary court decisions towards the disputes, and the legal force of customary court decisions towards the disputes that stipulated outside the Qanun No 9 of 2008. This research aims to describe the alternative form and mechanism of dispute resolution through Gayo’s customary court, the execution of the judicial decision of the customary court regarding the dispute stipulated outside the Qanun No 9 of 2008. The research method applied in this study is empirical jurisprudence with the sociology of law approach. Data collected from two different sources; the secondary data from the library and primary data collected from the field. The data collection technique adopted in this research is an in-depth interview with the respondents and informants. The research was conducted in Lut Tawar Sub-District and Bintang Sub-District of Aceh Tengah Regency. The data collected then analyzed using the sociological jurisprudence theory, expediency theory, and authority theory. The study result indicates that there are several forms of dispute resolution, namely: one village dispute, Gayo's customary judicial dispute resolution mechanism: the existence of reports (from victims or communities), reports submitted to the village head, If a mild light is sufficiently resolved by the village head, the Dusun head reports to Reje or a member of Sarak Opat, if the dispute is entered into a heavy dispute category, Reje sends Telangke (mediator) to the parties in dispute, deliberation, The results of deliberation ruling and executing the execution. Disputes involving villages, inter-district, inter-district, the completion mechanism is: the existence of reports from the community that were targeted to the village head or directly to Sarak Opat, Sarak Opat then confirmed to Sarak Opat Village, which is related to the perpetrators, conducting deliberations, reading of the decision on deliberation and execution. The executions of a judicial decision of the customary court in Gayo’s community are: accepting the decision and implementing it and accepting the decision but does not implement it. The authority of the customary court in the dispute resolution is limited to 18 cases stipulated in the Qanun No 9 of 2008. However, it does not mean that other cases could not be solved. Other disputes can also be solved especially the one related to the infringement of customs. In Article 13 of Qanun No 9 of 2008, it is stated that “other disputes that infringing the custom”. This final point gives a lot of opportunities for a customary institution to resolve the disputes outside the one mentioned in Qanun No 9 of 2008 which considered violating the customs of a village, so the judicial decision of the customary court outside the Qanun No 9 of 2008 still has a powerful legal force. It is recommended that the government does not give restrictions on the authority of the customs justice, because if it is limited this will make customary laws look rigid and also customary laws do not make the rules so detailed, if the customary law is made in detail then it will make Customary law looks rigid, because the customary laws are essentially elastic. Adat Law develops according to the pattern of the life of society, so that the rules on customary law is sufficient to make a limit to acknowledge the existence of customary law, it is very is to be turned to customary law so that the ruling on customary law has a permanent legal force. It is recommended to the institute Sarak Opat and Adat Council Gayo so that customary law Gayo more developed in the sense of not made in formal form, but its development in the field of public understanding. The acceptance of customary law will be easier to be received by people when the law is understood by every society. Because the concept of customary law is only understood by the old customary figure, so that many people do not understand the customary law, this can cause customary law in the land will be lost. Advised to the whole Gayo community and young generation Gayo should give great attention to customary law, because the values of customary laws have now begun to fade, because of the lack of attention from society. This will cause the customary legal value to fade. Keywords: Alternative Dispute Resolution, Customary Court