//

GUGATAN CERAI PEREMPUAN KORBAN TINDAK KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (SUATU PENELITIAN DI MAHKAMAH SYAR’IYAH KOTA BANDA ACEH)

BACA FULL TEXT ABSTRAK Permintaan Versi cetak
Pengarang Martunis - Personal Name
SubjectVIOLENCE
ISLAMIC LAW
DIVORCE - LAW
Bahasa Indonesia
Fakultas Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Syiah Kuala
Tahun Terbit 2018

Abstrak/Catatan

GUGATAN CERAI PEREMPUAN KORBAN TINDAK KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (Suatu Penelitian di Mahkamah Syar’iyah Kota Banda Aceh) Martunis* Dahlan** Mahfud*** ABSTRAK Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) khususnya terhadap isteri terus muncul dan meningkat di berbagai wilayah Indonesia termasuk Aceh. Di Aceh, ekses dari kondisi ini mendorong tingginya angka gugatan cerai di Mahkamah Syar’iyah oleh isteri sebagai upaya keluar dari lingkaran kekerasan dengan persentase mencapai 83%. Pertanyaan yang ingin dijawab adalah: (1) Bagaimana pertimbangan hukum majelis hakim di Mahkamah Syar’iyah Kota Banda Aceh dalam penanganan kasus gugat cerai akibat tindak KDRT? (2) Apakah putusan Mahkamah Syar’iyah Kota Banda Aceh sesuai dengan konsep hukum perlindungan korban tindak KDRT? Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan dasar pertimbangan hukum majelis hakim di Mahkamah Syar’iyah Kota Banda Aceh dalam penanganan kasus gugat cerai akibat tindak KDRT; menjelaskan putusan Mahkamah Syar’iyah Kota Banda Aceh dalam perkara gugat cerai akibat KDRT terkait perlindungan hukum bagi korban tindak KDRT dan membandingkannya dengan konsep hukum perlindungan korban tindak KDRT di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis empiris dengan pendekatan perundang-undangan (Statute Approach) atas undang-undang terkait dengan perlindungan korban dan KDRT, serta pendekatan kasus (Case Approach) atas putusan hukum dalam perkara cerai gugat akibat KDRT untuk melihat ratio decidendi atau motivering yaitu pertimbangan hakim untuk sampai kepada putusan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: Pertama, tindak pidana KDRT umumnya tidak dituntut secara pidana melainkan secara perdata, karenanya hakim tidak dapat memberi putusan pidana lebih dari apa yang dimohon oleh Penggugat dalam petitumnya. Sehingga bentuk perlindungan hukum bagi perempuan dilakukan melalui beberapa hal; membuat akta perjanjian damai yang dilindungi hukum jika kedua pihak berdamai lewat mediasi, atau mempercepat proses persidangan dan mengabulkan gugatan cerai untuk memberi kepastian hukum dan menghindarkan isteri dari trauma atau kemungkinan terulangnya tindak KDRT. *Mahasiswa **Ketua Komisi Pembimbing ***Anggota Komisi Pembimbing Hakim Mahkamah Syar’iyah Kota Banda Aceh belum mengintegrasikan UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang PKDRT sebagai acuan maupun dalil dalam putusan. Sebaliknya, hakim mendasarkan putusannya pada pertimbangan: (1) Ketidakberhasilan proses mediasi; (2) Penolakan Penggugat atas nasehat majelis hakim untuk membatalkan gugatan cerai; (3) Ketidakhadiran pihak Tergugat dalam proses mediasi dan dalam persidangan sehingga perkara tersebut diadili secara verstek; (4) Perselisihan yang terus menerus terjadi antara kedua pihak telah memenuhi syarat dan alasan hukum; (5) Keyakinan majelis hakim bahwa kedua pihak tidak mungkin lagi dipertahankan sebagai suami isteri; (6) Kaidah-kaidah maslahat dalam hukum Islam. Kedua, Putusan Mahkamah Syar’iyah Kota Banda Aceh dalam penyele- saian perkara cerai gugat akibat KDRT adalah mengabulkan gugatan cerai secara verstek akibat ketidakhadiran pihak suami (tergugat) dalam proses mediasi dan persidangan, dan menjatuhkan putusan talak satu ba’in sughra Tergugat atas Penggugat. Jadi putusan hakim Mahkamah Syar’iyah Kota Banda Aceh sudah sesuai dengan konsep hukum perlindungan korban tindak pidana KDRT bahwa hakim mempertimbangkan nasib korban dalam putusannya. Namun tidak semua dapat diimplementasikan karena isteri menganggap putusan cerai dari suaminya sudah cukup. Berdasarkan temuan tersebut, disarankan perlunya sosialisasi yang lebih intens dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 sebagai payung hukum utama terhadap korban-korban tindak KDRT, agar hak-hak korban terpenuhi sepenuhnya dalam proses pengadilan. Selain itu agar suami maupun istri semakin mengerti dan memahami tentang hak-hak dan kewajibannya dalam lingkup rumah tangga. Hal itu juga agar setiap korban berani mengungkapkan dan melaporkan segala bentuk tindak pidana KDRT sesuai dengan aturan hukum. Sebab tindak KDRT bersifat delik, artinya hukum tidak bisa melindungi jika tidak ada pengaduan dari pihak korban. Dengan demikian diharapkan tindak pidana KDRT khususnya yang dialami oleh perempuan dapat semakin diminimalisir. Kata Kunci: Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Perlindungan Hukum, Cerai Gugat, Mahkamah Syar’iyah Kota Banda Aceh.

Tempat Terbit Banda Aceh
Literature Searching Service

Hard copy atau foto copy dapat diberikan dengan syarat ketentuan berlaku, jika berminat, silahkan isi formulir online (Chat Service LSS)

Share Social Media

Tulisan yang Relevan

HUBUNGAN ANTARA KESADARAN HAK-HAK INDIVIDU PADA PEREMPUAN DENGAN TINGKAT KEINGINAN CERAI GUGAT DI KOTA BANDA ACEH (NOVA AGUSTINA, 2019)

TINJAUAN HUKUM TERHADAP CERAI GUGAT (STUDI KASUS DI WILAYAH HUKUM MAHKAMAH SYAR’IAH KOTA BANDA ACEH) (CUT THARI DITYA, 2020)

PEMBERIAN BANTUAN HUKUM TERHADAP KORBAN PELECEHAN SEKSUAL ANAK DI WILAYAH HUKUM MAHKAMAH SYAR’IYAH ACEH BARAT (MUHAMMAD IKHWAN ADABI, 2020)

PERBEDAAN BENTUK KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DITINJAU DARI USIA SAAT MENIKAH DAN TINGKAT PENDIDIKAN (NANDA RIZKI RAHMITA, 2019)

PERLINDUNGAN TERHADAP PEREMPUAN SEBAGAI ISTRI KORBAN KEKERASAN PSIKIS DALAM RUMAH TANGGA OLEH PUSAT PELAYANAN TERPADU PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN ANAK DI KOTA BANDA ACEH (CUT SHARA UTARI, 2019)

  Kembali ke sebelumnya

Pencarian

Advance



Jenis Akses


Tahun Terbit

   

Program Studi

   

© UPT. Perpustakaan Universitas Syiah Kuala 2015     |     Privacy Policy