//

PENERAPAN AJARAN TURUT SERTA DALAM KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI DIKAITKAN PUTUSAN NOMOR : 161/PID.B/2010/PN.BNA DENGAN TEORI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA

BACA FULL TEXT ABSTRAK Permintaan Versi cetak
Pengarang Linda Ulfa - Personal Name
SubjectCORRUPTION IN GOVERNMENT - LAW
CRIMINAL RESPONSIBILITY
Bahasa Indonesia
Fakultas Program Studi Magister Ilmu Hukum
Tahun Terbit 2017

Abstrak/Catatan

PENERAPAN AJARAN TURUT SERTA DALAM KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI DIKAITKAN PUTUSAN NOMOR : 161/PID.B/2010/PN.BNA DENGAN TEORI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA Linda Ulfa* Mohd. Din** Dahlan Ali*** ABSTRAK Tindak pidana korupsi yang terjadi tidak hanya dilakukan oleh satu orang, terkadang malah dilakukan oleh beberapa orang. Sehingga dalam proses penegakan hokum pidana sering dipergunakan Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP yang lazim digunakan dalam suatu tindak pidana yang melibatkan lebih dari satu orang.Dalam kajian hokum pidana Pasal 55 KUHP secara teoritik “Dipidana sebagai pembuat sesuatu perbuatan pidana (1) mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan turut serta melakukan perbuatan; (2) mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalagunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan”. Penerapan ajaran turut serta dalam Pasal 55 KUHP sering tidak sesuai dengan ketentuan dimana dalam beberapa kasus terlihat bahwa Majelis hakim memutuskan tidak sesuai dengan konsep dan pengertian ajaran turut serta karena bagaimana mungkin seorang pelaku peserta terbukti melakukan perbuatan turut serta melakukan perbuatan korupsi dengan orang yang telah dilepas dari segala tuntutan hukum. Oleh karena itu nyatalah di sini bahwa semua pelaku peserta yang melakukan (medeplegers) harus diadili sekaligus agar tidak terjadi putusan yang saling bertentangan. Apabila dihubungkan antara Pasal 55 KUHP dengan ajaran Deelneming, maka sebenarnya tidak ada dalam satu peristiwa pidana diantara pelaku mempunyai kedudukan dan peranan yang sejajar, artinya tidaklah logis apa bila dalam penanganan suatu perkara pidana, hakim menyatakan terbukti Pasal 55 KUHP dengan hanya sebatas menyatakan adanya hubungan kerjasama secara kolektif. Dalam suatu perkara pidana adalah sangat penting menemukan hubungan antar pelaku dalam menyelesaikan suatu tindak pidana, yakni bersama-sama melakukan tindak pidana, seorang mempunyai kehendak dan merencanakan kejahatan sedangkan menggunakan orang lain untuk melaksanakan tindak pidana tersebut. Dari uraian tersebut yang menjadi permasalahan dalam penelitian ialah: bagaimanakah implementasi penerapan ajaran turut serta dalam kasus tindak pidana korupsi dikaitkan dengan teori pertanggungjawaban pidana dan upaya hukum yang dapat dilakukan terhadap adanya pelaku lain yang tersangkut dalam pidana korupsi yang sedang diperiksa. Penelitian dan pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui implementasi dari penerapan ajaran turut serta dalam kasus tindak pidana korupsi dikaitkan dengan teori pertanggungjawaban pidana dan untuk mengetahui upaya hukum yang dapat dilakukan terhadap adanya pelaku lain yang tersangkut dalam pidana korupsi yang sedang diperiksa. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, yaitu dengan mengacu pada pernyataan-pernyataan atau ketentuan-ketentuan dalam hukum pidana. Sedangkan pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani, kemudian pendekatan melalui wawancara adalah bahan tambahan untuk melengkapi kajian yang akan diteliti dalam penulisan karya ilmiah ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, Implementasi penerapan ajaran turut serta dalam kasus tindak pidana korupsi tidak sesuai dengan teori pertanggungjawaban pidana dikarenakan oleh penerapannya yang tidak sesuai dan tidak memenuhi unsur keadilan, hal ini disebabkan karena terhadap para pelaku tindak pidana korupsi tidak bisa dihukum setimpal dengan apa yang telah diperbuatnya, selama ini para pelaku tindak pidana korupsi itu dijerat dengan Pasal 55 KUHP yang mengakibatkan pelaku utama tindak pidana korupsi tersebut tidak tersentuh hukum.Upaya hukum yang dapat dilakukan terhadap adanya pelaku lain yang tersangkut dalam tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa yakni dengan melakukan penyelidikan dan penyidikan secara mendalam terhadap adanya pelaku baru yang melakukan tindak pidana korupsi tersebut. Hal ini membuktikan bahwa tindak pidana korupsi memang dilakukan secara bersama-sama, sehingga dengan penetapan tersangka-tersangka baru dapat memenuhi unsur keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Disarankan kepada Pemerintah harus segera merevisi atau menyempurnakan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, agar semua pelaku tindak pidana korupsi dapat tersentuh oleh hukum sehingga tidak ada perbedaan pemberlakuan terhadap para pelaku tindak pidana korupsi.Agar tetap terjaganya rasa keadilan, aparat penegak hukum harus lebih berperan aktif untuk menemukan dan menetapakan tersangka-tersangka baru baik itu pada saat proses penyelidikan dan penyidikan. Kata kunci : Penerapan Ajaran Turut Serta, Tindak Pidana korupsi, Teori Pertanggungjawaban Pidana. JOINT CRIMINAL ENTERPRISE PRINCIPLE IMPLEMENTATION IN CORRUPTION CASES RELATED TO CRIMINAL LIABILITY THEORIES Linda Ulfa* Mohd. Din** Dahlan Ali*** ABSTRACT A single person does not only commit corruption, it even perpetrated by some people. As a consequence, in the criminal law enforcement process is usually imposed Articles 55 and 56 of Indonesian Criminal Code (later called as KUHP) that is usually applied for a crime involving more than one person. In criminal law analysis, Article 55 of KUHP is theoretically stating that “punishment for perpetrators of a crime, (1) they who commit, order to commit, and involve in the crime; (2) they who give or promise something, by abusing their powers or position, assaults, threats, or providing a chance, medias or information, intentionally order the others to commit a crime”. The implementation of joint criminal enterprise in Article 55 of KUHP is often not in accordance with the rules in several cases it seems that the judges decide not based on the concept and the meaning of the principle as how could be a perpetrator of accessories proved conduct the crime and committed corruption with the people that has been released from all charges. Thus, it is clear that the joint perpetrators (medeplegers) must be judged together hence there is no contradictory decision. If it is related to Article 55 of KUHP known as Deelneming principle, hence there is no in the case of criminal law between the perpetrators same role and position, means that it is not logic if in handling the case law, judge found guilty of Article 55 of the KUHP by only stating that there is a cooperation relationship collectively. In a criminal case it is very important to find the relationship between perpetrators in solving a crime, who are together committing crimes, one may have a will and plan a crime by using other people to conduct such crime. From the fact above, the problems that might be risen from this research are: how is the implementation of the joint criminal enterprise in the corruption case relating to criminal law liability theories and the effort that can be done towards other perpetrators committing corruption that is being investigated. This research aims to know the implementation of the joint criminal enterprise and a corruption case in relation to criminal liability and to know the legal efforts and that can be done towards the other accused that is committed crime that is being investigated. This is juridical normative research that is referring to the statements or legislations in criminal laws. While a statutory approach is applied by exploring all rules and regulation that are relevant to the laws’ issues that are being handled then he approach is done by interviewing is the additional sources to complement the review that is going to be discussed in this writing. The research shows that the implementation of the principle of joint criminal enterprise is not in accordance with theories of criminal responsibility as the implementation is not based on the justice elements, it results from the perpetrators of corruption cases cannot be punished fairly and balanced as what they have committed towards the case of corruption, recently, the corruption perpetrators is imposed by Article 55 of KUHP causing the principals of the corruption case is not being punished. The legal efforts that can be done towards the perpetrators are that are committing the corruption crime that is being investigated are by conducting investigation and the accusation process deeply towards the new perpetrators committing the crime. It proves that the corruption case is committed jointly; hence by finding new suspects would bring justice, usefulness and certainty of laws. It is recommended that the Government of Republic of Indonesia should immediately revise or complement the Act Number 31, 1999 in relation to the Act Number 20, 2001 on the Corruption Crime, hence all the perpetrators of the corruption cases can be punished and touched by the law and there are no one of the perpetrators are free from the imposition of law. In addition, to keep justice, the law enforcers should be more active to find and impose the suspects that are potent to be punished either in the pre investigation or investigation process. Keywords: Implementation, Joint Criminal Enterprise, Crimes, Corruption, Criminal Liability.

Tempat Terbit Banda Aceh
Literature Searching Service

Hard copy atau foto copy dapat diberikan dengan syarat ketentuan berlaku, jika berminat, silahkan isi formulir online (Chat Service LSS)

Share Social Media

Tulisan yang Relevan

KAJIAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PERPAJAKAN YANG BERKAITAN DENGAN TINDAK PIDANA KORUPSI (FATHURRAHMAN ALTHAF, 2019)

MENGUJI AJARAN TURUT SERTA (DEELNEMING) DALAM PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR : 1769 K/PID.SUS/2015 (Harry Arfhan, 2019)

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PEMBERI DAN PENERIMA SUAP DALAM PENGADAAN BARANG DAN JASA PEMERINTAH (STUDI PUTUSAN NOMOR 6/PID.SUS-TPK/2017/PN BNA) (IBRAHIM, 2018)

PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN BARANG DAN JASA PEMERINTAH (SUATU PENELITIAN DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN TIPIKOR BANDA ACEH) (Ibsaini, 2018)

STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR: 17/PID.SUS-TPK/2014/PN.BNA DAN PUTUSAN NOMOR: 38/PID.SUS-TPK/2014/PN.BNA TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI (HIDAYATULLAH, 2016)

  Kembali ke sebelumnya

Pencarian

Advance



Jenis Akses


Tahun Terbit

   

Program Studi

   

© UPT. Perpustakaan Universitas Syiah Kuala 2015     |     Privacy Policy