//

ANALISIS YURIDIS TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PELAPOR (WHISTLE BLOWER) DALAM UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN TERHADAPKASUS TINDAK PIDANA KORUPSI

BACA FULL TEXT ABSTRAK Permintaan Versi cetak
Pengarang ENI SURIATI - Personal Name

Abstrak/Catatan

Pengertian pelapor (whistle blower) dapat dilihat dalam Pasal 1 butir 4 Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban Nomor 31 Tahun 2014, yaitu orang yang memberikan laporan atau informasi kepada penegak hukum mengenai suatu tindak pidana yang terjadi tetapi bukan merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya, perlindungan hukum bagi pelapor (whistle blower) sangat penting diberikan karena peran seorang pelapor (whistle blower) bisa mempermudah mengungkap tindak pidana yang terjadi.Penelitan ini bertujuan untuk menjelaskan perlindungan hukum terhadap pelapor (whistle blower) dan bagaimana mekanisme pelaporan tindak pidana oleh seorang pelapor. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif. Pengumpulan data ini dilakukan dengan menggunakan data sekunder melalui studi kepustakaan, peraturan perundang-undangan, buku-buku, dan internet. Hasil penelitian menjelaskan bahwa perlindungan terhadap pelapor (whistle blower) diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban, Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Nomor 20 Tahun 2001, Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2011, dari aturan tersebut belum ada yang secara khusus memberi perlindungan kepada pelapor, sehingga perlindungan pelapor tidak maksimal di dapatkan karena whistle blower selalu saja dapat pelaporan balik atas tindak pidana yang dilaporkannya. Seorang pelapor tidak ada jaminan perlindungan atas tindak pidana balik atas laporannya dan seorang pelapor masih mendapat sanksi penjatuhan tuntutan pidana. Mekanisme pelaporan tindak pidana korupsi oleh seorang pelapor tidak diatur dalam Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban tentang bagaimana seorang pelapor melaporkan suatu tindak pidana korupsi, mekanisme pelaporan seorang pelapor diatur dalam Undang-undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 16 Pasal 17 dan Pasal 18, Peraturan Menteri Nomor 29 Tahun 2014 dalam Bab IV. Disarankan bagi pemerintah dan instansi yang berwenang, dapat meningkatkan upaya perlindungan hukum secara maksimal dan seorang whistle blower tidak dapat dituntut balik atas laporan yang diberikan dan membuat peraturan Undang-undang Khusus tentang Perlindungan Pelapor, kepada Komisi Pemberantasan Korupsi dan Lembaga Perlindungan Saksi dan korban dapat membuat Mekanisme Khusus dalam pelaporan Tindak pidana Korupsi oleh seorang pelapor dan membuat perlindungan yang didapatkan oleh seorang pelapor agar tidak mendapat ancaman balik dari laporan yang diberikannya.

Tempat Terbit
Literature Searching Service

Hard copy atau foto copy dapat diberikan dengan syarat ketentuan berlaku, jika berminat, silahkan isi formulir online (Chat Service LSS)

Share Social Media

Tulisan yang Relevan

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KEDUDUKAN SAKSI PELAKU (JUSTICE COLLABORATOR) DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA (AGUNG HIDAYATULLAH, 2018)

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA (SUATU PENELITIAN DI WILAYAH HUKUM POLRESTA BANDA ACEH) (TRIA HUMAIRA, 2016)

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI WHISTLEBLOWER DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI (Ahmad Zulpikar, 2017)

IMPLEMENTASI PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PENCABULAN ANAK DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN NEGERI TAKENGON (Alyani Maulida, 2018)

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PENCURIAN SEPEDA MOTOR DI BANDA ACEH (M.Rizki Fadila, 2017)

  Kembali ke sebelumnya

Pencarian

Advance



Jenis Akses


Tahun Terbit

   

Program Studi

   

© UPT. Perpustakaan Universitas Syiah Kuala 2015     |     Privacy Policy